Perihal Menjadi Orangtua dengan Pengharapan di Saat-saat yang Paling Buruk

(1) Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai. (2) Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. (3) Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan! (4) Orang yang terbaik di antara mereka adalah seperti tumbuhan duri, yang paling jujur di antara mereka seperti pagar duri; hari bagi pengintai-pengintaimu, hari penghukumanmu, telah datang, sekarang akan mulai kegemparan di antara mereka! (5) Janganlah percaya kepada teman, janganlah mengandalkan diri kepada kawan! Jagalah pintu mulutmu terhadap perempuan yang berbaring di pangkuanmu! (6) Sebab anak laki-laki menghina ayahnya, anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya; musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya. (7) Tetapi aku ini akan menunggu-nunggu TUHAN, akan mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku! (8) Janganlah bersukacita atas aku, hai musuhku! Sekalipun aku jatuh, aku akan bangun pula, sekalipun aku duduk dalam gelap, TUHAN akan menjadi terangku. (9) Aku akan memikul kemarahan TUHAN, sebab aku telah berdosa kepada-Nya, sampai Ia memperjuangkan perkaraku dan memberi keadilan kepadaku, membawa aku ke dalam terang, sehingga aku mengalami keadilan-Nya. (10) Musuhku akan melihatnya dan dengan malu ia akan menutupi mukanya, dia yang berkata kepadaku: "Di mana TUHAN, Allahmu?" Mataku akan memandangi dia; sekarang ia diinjak-injak seperti lumpur di jalan.

Pada hari ini kita mengakhiri rangkaian mengenai pengasuhan rohani. Judul yang telah saya pilih untuk berita terakhir ini adalah “Perihal Menjadi Orangtua dengan Pengharapan di Saat-saat yang Paling Buruk.” Tidak ada saat-saat yang mudah untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak. Maksud dari Kejadian 3 adalah bahwa segera setelah dosa memasuki dunia, melahirkan anak dan membesarkan anak menjadi sangat sulit. Tuhan berkata kepada Hawa, “Susah payahmu waktu mengandung akan Kubuat sangat banyak; dengan kesakitan engkau akan melahirkan anakmu” (Kejadian 3:16). Lalu setelah Hawa dan Adam membesarkan dua anak laki-laki, salah satu di antara mereka membunuh yang lain.

Satu-satunya Cara untuk Bebas

Maksud kisah itu adalah bahwa sekarang dosa ada di dalam dunia – dalam diri semua orangtua dan dalam semua anak. Inilah macam hal yang dosa lakukan: Dosa merusakkan manusia, dan dosa merusakkan keluarga-keluarga. Masalah utama dalam dunia adalah kuasa dari dosa yang mendiami. Dosa adalah suatu kuasa Dosa adalah suatu kekuatan, kecacatan, kebobrokan, kerusakan dalam jiwa manusia. Dosa *bukan*lah serangkaian pilihan bebas. Dosa adalah suatu perbudakan yang kuat yang menghancurkan kebebasan manusia.

Satu-satunya cara bagi manusia untuk bebas – bagi orangtua dan anak untuk bebas – adalah dengan dilahirkan kembali oleh Roh Allah; memeluk Yesus Kristus sebagai Juru Selamat; diampuni karena dosa oleh Pencipta alam semesta; dan menerima Roh Kudus sebagai satu-satunya kuasa balasan terhadap kuasa dosa. Itulah satu-satunya pengharapan bagi dunia dan bagi para orangtua dan anak-anak. Ini selalu benar di setiap masa.

Tidak Ada Saat-saat yang Mudah dalam Hal Menjadi Orangtua

Jadi tidak ada saat-saat yang mudah untuk melahirkan dan membesarkan anak-anak menjadi orang-orang dewasa yang rendah hati, penuh kasih, benar, kreatif, produktif, dan meninggikan Kristus. Tidak ada saat-saat yang mudah. Tetapi beberapa saat lebih sulit daripada saat-saat lainnya. Dan entah saat-saat itu lebih sulit atau tidak, bisa bergantung pada keadaan-keadaan pribadi Anda atau keadaan-keadaan masyarakat.

Keinginan saya hari ini adalah untuk menolong Anda, orangtua, dengan pengharapan dalam keadaan-keadaan yang paling buruk. Dan saya memaksudkan baik paling buruk di rumah maupun paling buruk di dalam budaya. Dan bagi orang-orang yang bukan orangtua, segala sesuatu yang saya katakan berlaku pada Anda, karena cara memiliki pengharapan di saat-saat paling buruk adalah sama bagi setiap orang. Kita hanya membutuhkannya untuk alasan-alasan yang berbeda.

Nabi Mikha

Nabi Yahudi, Mikha, berkhotbah selama pemerintahan Yotam, Ahas, dan Hizkia, raja-raja Yehuda (Mikha 1:1). Itu adalah sekitar tahun 750 sampai tahun 687 SM. Pernyataan yang paling jelas mengapa ia muncul dalam pemberitaan diberikan di Mikha 3:8,

Tetapi aku ini penuh dengan kekuatan,
dengan Roh TUHAN,
dengan keadilan dan keperkasaan,
untuk memberitakan kepada Yakub pelanggarannya
dan kepada Israel dosanya.

Memberitakan Penghakiman dan Kemurahan Hati

Allah mengutus para nabi untuk menjelaskan kepada umat dosa mereka. Dan karena dosa mereka, para nabi memberitakan penghakiman, tetapi mereka juga memberitakan kemurahan hati. Inilah macam pemberitaan di seluruh Alkitab: Penghakiman dan Kemurahan Hati. Penghakiman dan Kemurahan Hati. Allah adalah kudus dan benar, sehingga Ia menimpakan penghakiman atas umat yang berdosa. Tetapi Allah itu bermurah hati, sabar, dan berbelas kasihan, sehingga Ia melepaskan umat yang berdosa dari penghukuman-Nya. Mikha menjelaskan hal ini di Mikha 4:10,

Menggeliatlah dan mengaduhlah, hai puteri Sion,
seperti perempuan yang melahirkan!
Sebab sekarang terpaksa engkau keluar dari kota
dan tinggal di padang,
terpaksa engkau berjalan sampai Babel;
di sanalah engkau akan dilepaskan,
di sanalah engkau akan ditebus oleh TUHAN
dari tangan musuhmu.

Tuhan akan mengirim mereka ke Babel dalam penghakiman. Dan Ia akan membawa mereka kembali ke negeri mereka dalam kemurahan hati.

Hukuman Akan Datang

Di pasal 7, Mikha merujuk kepada perihal menjadi orangtua di saat-saat yang paling buruk – paling buruk di rumah dan paling buruk di dalam budaya. Ayat 1: “Celaka aku! Sebab keadaanku seperti pada pengumpulan buah-buahan musim kemarau, seperti pada pemetikan susulan buah anggur: tidak ada buah anggur untuk dimakan, atau buah ara yang kusukai.” Ia mungkin berbicara tentang betapa melaratnya ia akan makanan. Tetapi saya menduga ia sedang berbicara secara metafora tentang teman-teman dan kawan-kawannya yang saleh yang melarat. Karena ia berlanjut mengatakan, ayat 2-3: “Orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semuanya mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum, mereka putar balikkan!” Para pemimpin itu jahat. Mereka berkonspirasi (“memutar balikkan”) untuk melakukan sebanyak mungkin kejahatan, dan melakukannya dengan cekatan.

Ayat 4: “Orang yang terbaik di antara mereka adalah seperti tumbuhan duri, yang paling jujur di antara mereka seperti pagar duri.” Jika Mikha mencoba untuk mendekati mereka, mereka menusuk dia. “Hari bagi pengintai-pengintaimu, hari penghukumanmu, telah datang, sekarang akan mulai kegemparan di antara mereka!” Maka para pengintai yang ditunjuk untuk melihat musuh yang akan datang – harinya akan segera datang. Hukuman akan datang.

Bahkan Istri dan Anak-Anak

Sekarang Mikha membawanya dari budaya kepada teman dan keluarga. Ayat 5: “Janganlah percaya kepada teman, janganlah mengandalkan diri kepada kawan! Jagalah pintu mulutmu terhadap perempuan yang berbaring di pangkuanmu!” Dengan kata lain, dosa dan kebobrokan serta penipuan begitu merembes sehingga Anda perlu berhati-hati, kalau tidak bahkan istri Anda pun akan mengkhianati Anda – “perempuan yang berbaring di pangkuanmu.”

Sekarang kepada anak-anak. Ayat 6: “Sebab anak laki-laki menghina ayahnya, anak perempuan bangkit melawan ibunya, menantu perempuan melawan ibu mertuanya; musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” Ada lima orang dalam gambar ini: Ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, serta menantu perempuan. Jadi anak laki-lakinya sudah menikah. Mikha sudah mengatakan bahwa segala sesuatu tidaklah pasti antara suami dan istri (“Jagalah pintu mulutmu terhadap perempuan yang berbaring di pangkuanmu”). Dan sekarang ia mengatakan si anak laki-laki sedang bangkit melawan ayahnya. Dan anak perempuan sedang bangkit melawan ibunya, serta menantu perempuan berpihak pada anak perempuan melawan ibunya. Bahkan Mikha menyebut mereka musuh orang. Di akhir ayat 6: “Musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.” Ia secara khusus merujuk kepada anak laki-laki. Tampak anak-anak perempuan sedang memfokuskan rasa permusuhan mereka pada istri si anak laki-laki. Tetapi si anak laki-laki merasakannya.

Jadi ini menghancurkan hati. Beberapa di antara Anda hidup tepat dalam situasi ini. Ini merupakan saat-saat paling buruk. Budayanya jahat, dan pernikahan serta keluarga ada dalam krisis. Itulah gambaran di Mikha 7. Bagi beberapa di antara Anda, itulah gambaran hari ini, tetapi bagi orang lain, itu akan terjadi besok.

Yesus Menimbulkan Hal Ini?

Sebelum saya mengarahkan Anda kepada pengharapan Mikha dalam situasi ini, saya ingin Anda melihat apa yang Yesus lakukan dengan gambaran keluarga di ayat 6 ini. Berpalinglah pada Matius 10:34-36. Yesus mendeskripsikan dampak dari kedatangan-Nya: “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang. [Lalu Ia menggunakan Mikha 7:6.] Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya, anak perempuan dari ibunya, menantu perempuan dari ibu mertuanya, dan musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya.”

Inilah lima orang yang sama, rujukan yang sama kepada musuh-musuh dalam rumah Anda sendiri, tetapi ada satu perbedaan mencolok. Yesus mengatakan bahwa Ia menimbulkannya. Ayat 35: “Sebab Aku datang untuk memisahkan orang dari ayahnya...” Tentu saja Ia tidak memaksudkan bahwa Ia suka memisahkan keluarga-keluarga. Apa yang Ia maksudkan adalah bahwa panggilan-Nya yang radikal kepada pemuridan mengacaukan hubungan-hubungan. Satu orang percaya, yang lain tidak percaya. Ayah mengikut Yesus, anak-laki-lakinya tidak. Anak laki-laki mengikut Yesus, ayahnya tidak. Anak perempuan mengikut Yesus, ibunya tidak.

Mengapa Yesus Di Sini?

Maksud membawa Yesus ke dalam gambar di sini, pertama adalah untuk menunjukkan bahwa gangguan dalam keluarga pada zaman Mikha tidak harus hanya karena kejahatan dalam keluarga. Itu mungkin karena kebenaran dalam keluarga. Segala sesuatu mungkin telah berjalan lancar sampai seseorang menjadi serius tentang Allah, dan tentang kovenan-Nya, serta firman-Nya. Lalu tuduhan-tuduhan mulai dilemparkan. “Kamu pikir kamu jauh lebih baik, kalau sekarang kamu memiliki agama! Segala sesuatu sudah berjalan dengan baik, dan sekarang kamu pikir selebihnya dari kita harus diperbaiki!”

Dan alasan yang lain untuk menyebutkan penggunaan Yesus akan teks ini adalah untuk menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu pun yang unik tentang zaman Mikha. Itu benar pada abad ke-8 SM. Itu benar pada abad 1 M. Dan itu benar pada abad ke-21. Bagi seseorang, itu selalu saat-saat yang paling buruk, bahkan sekalipun itu bukanlah bagi Anda.

Lalu apa yang harus Mikha katakan tentang perihal menjadi orangtua dengan pengharapan di saat-saat yang paling buruk?

Apa yang Harus Mikha Katakan: Keberanian yang Hancur Hati

Ia mendeskripsikan dirinya – saya menduga sebagai ayah yang mewakili dan perwakilan bangsa Israel – dan sikap yang ia ambil adalah keberanian yang hancur hati. Itulah esensi dari apa yang ingin saya katakan kepada Anda tentang mengasuh di saat-saat yang paling buruk. Lakukan itu dari sikap keberanian yang hancur hati. Dan untuk memastikan Anda tahu apa yang saya maksudkan dengan “hancur hati” dan apa yang saya maksudkan dengan “keberanian,” kita perlu menanyakan: Ia hancur hati dalam hal apa? Dan atas dasar apa ia dapat menjadi begitu berani? Marilah kita melihat ke ayat 7-9 untuk mendapatkan jawaban terhadap kedua pertanyaan itu. Ia hancur hati dalam hal apa? Dan bagaimana Ia bisa menjadi begitu berani?

Bukan dalam Kebenaran Diri

Tepat setelah mengatakan di ayat 6, “Musuh orang ialah orang-orang seisi rumahnya,” ia mengatakan di ayat 7, “Tetapi aku ini akan menunggu-nunggu TUHAN, akan mengharapkan Allah yang menyelamatkan aku; Allahku akan mendengarkan aku!” Jadi di saat-saat yang paling buruk, kita melihat kepada Tuhan. Kita mungkin telah mencoba melihat ke tempat lain. Tidak sesuatu pun berhasil. Segala sesuatu rusak. Kita berpikir mungkin kita dapat membuat keluarga berjalan. Mungkin anak-anak ini berada di dalam kekuasaan kita untuk dibentuk menurut keinginan kita. Mungkin dengan buku-buku pernikahan yang tepat, rasa saling percaya, saling menghormati, saling mengagumi, dan afeksi yang mendalam ada di dalam kekuasaan kita. Namun sekarang, sekarang kita melihat kepada Tuhan.

Tetapi hati-hati. Apakah Mikha sedang melihat kepada Tuhan dalam kebenaran diri? Hal seperti itu adalah mungkin. Apakah ia sedang mengatakan, “Aku melakukan segala sesuatu dengan benar – semua yang harus dilakukan oleh seorang ayah. Jika keluarga ini tidak berjalan, hatiku hancur, tetapi aku bukanlah masalahnya. Anggota keluargakulah masalahnya.” Apakah itu sikap orang ini? Tidak, itu bukanlah sikapnya. Dan saya harap itu juga bukanlah sikap Anda.

Berdosa kepada Tetapi Sadar akan Dosa Kita Sendiri

Dengarkan kepada apa yang ia katakan di ayat 8 dan 9. Dengarkan untuk keberanian dan kehancuran. Mengapa ia hancur?

Janganlah bersukacita atas aku, hai musuhku! Sekalipun aku jatuh, aku akan bangun pula, sekalipun aku duduk dalam gelap, TUHAN akan menjadi terangku. Aku akan memikul kemarahan TUHAN, sebab aku telah berdosa kepada-Nya, sampai Ia memperjuangkan perkaraku dan memberi keadilan kepadaku, membawa aku ke dalam terang, sehingga aku mengalami keadilan-Nya.

Jangan salah menanggapi permulaan ayat 9, “Aku akan memikul kemarahan TUHAN, sebab aku telah berdosa kepada-Nya.” Alasan hal ini begitu penting untuk dilihat para pasangan dan orangtua adalah bahwa ia mengatakannya dalam konteks sungguh-sungguh berdosa kepada. Di ayat 8, ia mengatakan kepada musuhnya (mungkin anak laki-lakinya atau istrinya), “Janganlah bersukacita atas aku, hai musuhku.” Jangan merasa senang melihat aku. Dan di ayat 9 di tengah-tengah, ia mengatakan, Tuhan akan memperjuangkan perkaraku dan memberi keadilan *kepada*ku, bukan melawan aku. “Ia akan membawa aku ke dalam terang, sehingga aku mengalami keadilan-Nya.”

Dengan kata lain, ia tahu bahwa ia sedang dalam keadaan berdosa. Ia tahu bahwa beberapa tuduhan mereka salah. Ia tahu bahwa Allah ada di pihaknya dan bukan melawan dia. Allah akan membawa dia keluar dari kegelapan ke dalam terang; Allah akan membelanya. Ia berani dalam keyakinan ini dan penegasan ini. Berani secara menakjubkan. Namun, ia mengarahkan perhatian untuk menjelaskan kemarahan Tuhan dan kegelapannya sendiri dengan menggunakan dosanya sendiri. “Aku akan memikul kemarahan TUHAN, sebab aku telah berdosa kepada-Nya.”

Mengapa Begitu Hancur Hati?

Maka inilah jawaban saya terhadap pertanyaan: Mengapa Ia hancur hati? Itu bukan terutama bahwa ia berada dalam keadaan berdosa dalam keluarga, tetapi bahwa ia berdosa. Sikap menjadi orangtua dengan pengharapan di saat-saat yang paling buruk adalah sikap keberanian yang hancur hati. Dan kehancuran hati pertama-tama adalah karena dosanya sendiri, dan hanya kemudian karena berdosa kepada. Ini merupakan peperangan besar yang kita hadapi. Akankah kita menemukan, oleh anugerah Allah, macam kerendahan hati yang memampukan kita untuk melihat keluarga kita dan diri kita seperti itu?

Bagaimana Menjadi Begitu Berani?

Pertanyaan kedua: Bagaimana ia bisa begitu berani, jika ia telah berdosa? Bagaimana ia bisa berbicara seperti yang ia lakukan ketika dosanya sendiri begitu mengemuka dalam pikirannya? Dari mana macam keberanian ini berasal? “Janganlah bersukacita atas aku, hai musuhku! Sekalipun aku jatuh, aku akan bangun pula.... Allah akan memperjuangkan perkaraku dan memberi keadilan kepadaku, membawa aku ke dalam terang, sehingga aku mengalami keadilan-Nya.”

Jawabannya diberikan di akhir pasal itu. Dan fakta bahwa jawaban itu datang sebagai hal terakhir dalam seluruh kitab, dan datang dengan penekanan seperti itu, menunjukkan betapa benar-benar sangat penting jawaban itu dalam kitab itu – sesungguhnya, dalam seluruh Alkitab. Ayat 18-19:

Siapakah Allah seperti Engkau yang mengampuni dosa, dan yang memaafkan pelanggaran dari sisa-sisa milik-Nya sendiri; yang tidak bertahan dalam murka-Nya untuk seterusnya, melainkan berkenan kepada kasih setia? Biarlah Ia kembali menyayangi kita, menghapuskan kesalahan-kesalahan kita dan melemparkan segala dosa kita ke dalam tubir-tubir laut.

Alasan Mikha begitu berani dalam kehancurannya adalah karena ia mengenal Allah. Ia tahu apa yang sungguh-sungguh menakjubkan dan unik tentang Allah. “Siapakah Allah seperti Engkau?” Itu berarti: Tidak ada Allah seperti Engkau. Jalan-jalan-Mu lebih tinggi daripada jalan-jalan kami. Jalan-jalan-Mu lebih tinggi daripada allah mana pun di dunia. Dan apakah keunikan-Mu? Engkau mengampuni dosa dan memaafkan pelanggaran umat-Mu. Jadi itu keunikan khusus tentang Allah dalam Alkitab – dan tidak ada Allah lain.

Masuk Jauh dengan Pengampunan Allah

Lalu bagaimana Anda menjadi orangtua dengan pengharapan di saat-saat yang paling buruk? Bagaimana Anda, para orangtua, memiliki pengharapan ketika keluarga Anda sendiri mungkin terpecah tiga lawan dua dan dua lawan tiga? Anda melihat kepada Tuhan. Anda berseru kepada Tuhan (ayat 7). Dan Anda berseru kepada-Nya dengan dua keyakinan yang sangat mendalam. Satu adalah bahwa Anda adalah orang berdosa dan Anda tidak layak akan apa pun dari Allah. Kita belum menjadi orangtua yang sempurna. Kita telah berdosa. Dan kita tidaklah bodoh atau naif. Kita tahu kita juga telah berdosa kepada. Tetapi segala sesuatu dalam daging kita ingin berpikir tentang hal itu. Hanya Roh Kudus yang dapat membuat kita melihat dosa kita sendiri. Hanya Roh Kudus yang dapat menjadikan kita merasakan kesalahan kita sendiri. Itulah satu keyakinan yang mendalam.

Yang lain adalah bahwa tidak ada Allah seperti Allah kita, yang mengampuni kesalahan dan memaafkan pelanggaran, dan menjauh dari kemarahan, serta bergemar dalam kasih yang setia. Kita meyakini hal ini secara mendalam sebagaimana kita yakin bahwa kita telah berdosa kepada pasangan kita dan kita telah berdosa kepada anak-anak kita, serta dalam semua ini kita telah berdosa kepada Allah. Apakah Anda melihat bagaimana keduanya sangat penting – bagaimana keduanya bekerja bersama-sama, masing-masing memungkinkan kedalaman yang lain? Jika Anda tidak merasakan dosa dan kesalahan Anda, Anda tidak akan masuk jauh dengan pengampunan Allah. Tetapi itu bekerja dengan cara lain, dan ini sangatlah penting dalam keluarga: Jika Anda tidak mengetahui dalamnya pengampunan Allah, Anda tidak akan masuk jauh dengan dosa Anda sendiri.

Kedua keyakinan yang mendalam ini menghasilkan sikap keberanian yang hancur hati. Dan itulah sikap untuk menjadi orangtua dengan pengharapan di saat-saat yang paling buruk. Hancur hati karena dosa kita dalam pusaran berdosa kepada, dan berani karena, “Siapakah Allah yang mengampuni seperti Engkau!”

Keberanian yang Hancur Hati – Diperkuat dalam Yesus

Bagi orang Kristen, kedua parohan sikap ini didasarkan dan diperkuat dengan mengenal Yesus Kristus dan apa yang telah Ia lakukan bagi kita di kayu salib. Bagi Mikha, Yesus adalah suatu pengharapan di pasal 5: “Tetapi engkau, hai Betlehem ... dari padamu akan bangkit bagi-Ku seorang yang akan memerintah Israel ... Ia akan bertindak dan akan menggembalakan mereka dalam kekuatan TUHAN” (Mikha 5:1, 3). Gembala yang baik ini memberikan nyawa-Nya bagi domba-domba-Nya (Yohanes 10:11). Dan ketika Ia memberikan nyawa-Nya, kita melihat dengan kejelasan yang lebih besar daripada sebelumnya kebesaran dosa kita (yang menghendaki besarnya penderitaan itu) dan kebesaran ketetapan hati Allah untuk mengampuni dosa kita. Maka kehancuran hati dan keberanian diperkuat.

Maka, jika Anda sedang menjadi orangtua di saat-saat yang paling buruk, atau ingin bersiap untuk menjadi orangtua di saat-saat yang paling buruk, atau hanya ingin berharap di saat-saat yang paling buruk, lihatlah kepada Mikha dan lihat kepada Yesus serta ambil sikap ini: kehancuran karena dosa Anda, dan keberanian karena Kristus. Lalu dalam kuasa Roh Kudus, tetapkanlah hati Anda untuk menjadi orangtua terbaik yang tidak sempurna semampu Anda – demi Yesus.