Pemikiran-Pemikiran Pastoral mengenai Doktrin tentang Pemilihan

Demikian juga pada waktu ini ada tinggal suatu sisa, menurut pilihan kasih karunia. 6 Tetapi jika hal itu terjadi karena kasih karunia, maka bukan lagi karena perbuatan, sebab jika tidak demikian, maka kasih karunia itu bukan lagi kasih karunia. 7 Jadi bagaimana? Israel tidak memperoleh apa yang dikejarnya, tetapi orang-orang yang terpilih telah memperolehnya. Dan orang-orang yang lain telah tegar hatinya

Ketika merenungkan beberapa implikasi pastoral dari mengkhotbahkan perikop yang sangat doktrinal seperti Roma 11 ini, terpikir oleh saya bahwa mungkin akan lebih baik kalau setiap beberapa minggu kita boleh terlebih dulu menghentikan laju eksposisi ini, untuk kemudian mundur ke belakang demi membicarakan beberapa implikasi praktis dari apa yang telah kita pahami sebelumnya. Apa yang telah kita pahami kembali dalam beberapa minggu belakangan ini dari Roma 11:1-10 (seperti yang telah kita lakukan terhadap Roma 8:29-33 dan Roma 9:10-24) adalah doktrin Alkitab tentang pemilihan tanpa syarat.

Ini merupakan ajaran yang menyatakan bahwa Allah telah memilih, sebelum dunia dijadikan (Efesus 1:4), siapa yang akan percaya sekalipun tak layak diselamatkan karena dosa mereka, dan siapa yang akan tetap tidak taat serta layak binasa karena dosa mereka. Dengan kata lain, hikmat, keadilan, dan anugerah dari kehendak Allah selalu menjadi penjelasan ultimat dari apa yang terjadi di dunia – secara keseluruhan. Manusia bukanlah Allah. Kita tidak dapat menjadi sebab pertama dari sesuatu yang tidak ada. Kita, para pemimpin [Gereja Baptis] Betlehem, berpegang teguh pada paradoks (bukan kontradiksi) Alkitab bahwa, di satu sisi, Allah itu berdaulat, dan di sisi yang lain, kita semua bersalah dan harus bertanggung jawab akibat dosa kita, sehingga layak menerima murka Allah. Jika Allah telah memilih kita untuk boleh menjadi beriman dan diselamatkan dari keadaan bersalah ini, itu bukan disebabkan oleh jasa yang ada pada diri kita. Itulah pemahaman yang telah kita dapatkan dalam Roma pasal ke-8 dan 9, dan sekarang kita temukan kembali dalam Roma 11:1-10. Itulah yang saya maksud dengan pemilihan tanpa syarat.

Demikianlah, maka pada hari ini kita akan beralih kepada beberapa pemikiran pastoral mengenai doktrin pemilihan ini.

1. Tidak semua hal adalah baik untuk kita ketahui, dan karena itulah Allah belum menyatakannya bagi kita; dan ada beberapa hal yang baik untuk kita ketahui, bahkan sekalipun kita belum dapat menalarnya secara sempurna.

Saya mendasarkan hal ini sebagian pada Ulangan 29:29 di mana Musa berkata, “Hal-hal yang tersembunyi ialah bagi TUHAN, Allah kita, tetapi hal-hal yang dinyatakan ialah bagi kita dan bagi anak-anak kita sampai selama-lamanya.” Ada hal-hal yang tidak dimaksudkan Allah untuk kita ketahui. Hal-hal tersebut tidaklah baik bagi kita. Contohnya adalah dalam Kisah Para Rasul 1:7, Yesus berkata, “Engkau tidak perlu mengetahui masa dan waktu, yang ditetapkan Bapa sendiri menurut kuasa-Nya.” Memiliki terlalu banyak pengetahuan mengenai masa yang akan datang tidaklah baik bagi kita. Faktanya adalah kita hampir-hampir tidak memiliki pengetahuan apa pun mengenai apa yang akan terjadi esok. Surat Yakobus 4:14 mengatakan, “Kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.” Contoh lainnya adalah dalam Mazmur 131, Raja Daud mengatakan, “Aku tidak tinggi hati, dan tidak memandang dengan sombong; aku tidak mengejar hal-hal yang terlalu besar atau hal-hal yang terlalu ajaib bagiku.” Ada beberapa hal yang memang berada di luar jangkauan kita.

Ada hal-hal lain yang dapat kita ketahui, karena Allah telah menyatakan hal-hal tersebut bagi kita, sekalipun kita mengetahuinya hanya sebagian. Dengan demikian, hal-hal tersebut adalah baik untuk kita ketahui. Tetapi kita harus puas untuk dapat mengetahuinya sebagian saja, sebagaimana dikatakan oleh Rasul Paulus dalam Surat 1 Korintus 13:12, “Sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku hanya mengenal dengan tidak sempurna, tetapi nanti aku akan mengenal dengan sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” Hal ini benar adanya, khususnya terkait dengan doktrin pemilihan. Kita memiliki kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan yang lebih banyak ketimbang kehendak Allah untuk menjawab. Bahaya besar tengah menanti jika kemudian pertanyaan kita itu berubah menjadi tuntutan.

Salah satu implikasi dari hal ini adalah bahwa kita takkan selalu mengetahui bagaimana sebuah doktrin khusus dalam Alkitab adalah baik bagi kita. Kita ini sangatlah pragmatis dan penuntut. Jika kita tidak dapat segera melihat adanya manfaat dari sebuah doktrin, kita cenderung mengabaikannya. Kita sedang menjadi seperti anak-anak yang bodoh ketika kita melakukan hal tersebut. Setiap orangtua mengetahui bahwa anak-anak selayaknya dipersiapkan untuk mempelajari segala hal, tanpa perlu terlebih dulu mengetahui bagaimana hal-hal tersebut suatu hari kelak akan bermanfaat. Contohnya adalah kita mengajari mereka tata krama saat berada di meja makan ketika mereka masih kecil, sehingga ketika dewasa kelak mereka dapat menjalani setiap situasi sosial dengan santun. Dan mereka belum perlu mengetahui mengapa Anda menyuruh mereka untuk memegang sendok dengan cara tertentu dan untuk tidak menempatkan siku mereka di atas meja. Demikian pula, mereka wajib memercayai perkataan Anda bahwa matahari itu selalu bersinar, bahwa bumi itu berbentuk bulat, bahwa sayuran hijau itu menyehatkan, dan bahwa racun tikus itu mematikan. Jika anak-anak kita saja wajib mengetahui hal-hal tersebut sebelum mereka paham tentang mengapa atau bagaimana, bayangkanlah betapa jauh lebih berbeda kualitas keberadaan kita jika dibandingkan dengan keberadaan Allah. Oleh karena itu, betapa jauh lebih wajib pula bagi kita untuk mengetahui sesuatu hal tanpa perlu terlebih dulu mengetahui bagaimana hal tersebut kelak dapat bermanfaat bagi kita.

Dampak dari sesuatu yang kita ketahui terhadap hidup kita itu selalu lebih dari yang sanggup kita ketahui atau mampu kita jelaskan. Adakalanya kita semata-mata diwajibkan untuk mengetahui sesuatu hal, hanya karena Allah menganggap itu benar. Beberapa saat kemudian barulah kita berkesempatan mengetahui bagaimana pengetahuan itu telah menjagai kita, atau menguatkan kita, atau menjadikan kita rendah hati, atau memurnikan kita, atau membimbing kita, atau memampukan kita untuk melihat hal-hal lain sebagai benar. Masalahnya kemudian mengerucut menjadi masalah kepercayaan. Apakah kita percaya bahwa Allah telah menyatakan apa yang baik untuk kita ketahui?

Sehubungan dengan doktrin pemilihan, bahwa kita belum memiliki pengetahuan secara menyeluruh bahwa itu adalah baik bagi kita. Sekalipun demikian, kita benar-benar dapat mengetahui sebagian di antaranya. Sebagian pengetahuan inilah yang membawa kita kepada pemikiran pastoral yang kedua, yakni mengenai dampak dari adanya pengetahuan tentang doktrin pemilihan itu.

2. Doktrin pemilihan memiliki kecenderungan kuat untuk menjadikan gereja memiliki ketangguhan dalam hal kebenaran dan Kitab Suci, dan dengan demikian, menjaganya agar tidak mudah terseret ke dalam pengabaian doktrin ataupun kompromi dengan kebudayaan.

Doktrin pemilihan cenderung memberikan kepadatan dan kekencangan kepada pikiran yang kendur. Doktrin tersebut cenderung menghasilkan orang-orang Kristen yang kuat dan bijaksana, serta tidak mudah terseret oleh arus pemikiran yang populer dan humanis. Doktrin tersebut memiliki daya pelestarian yang menakjubkan, yang bermanfaat untuk mencegah agar doktrin-doktrin yang lain tidak menjadi terkikis dan terhilang. Secara umum, doktrin pemilihan cenderung mencekoki pikiran kita dengan wawasan dunia yang berpusat pada Allah, yang dibangun berdasarkan kebenaran objektif yang riil.

Inilah satu ilustrasi untuk menggambarkan mengapa doktrin pemilihan itu penting. Dalam edisi terbaru Christianity Today, Chuck Colson membahas “posmodernisme” – “sebuah filsafat yang mengklaim tidak adanya kebenaran transenden.” Ia memberikan empat atau lima tanda budaya yang mengindikasikan bahwa posmodernisme kehilangan kekuatannya dan mungkin akan segera berlalu. Tetapi mari kita menyimak seruan yang ditujukannya kepada gereja-gereja.

Saya tidak dapat mengingat adanya saat yang lebih kritis daripada zaman ini bagi para pendeta, para sarjana Alkitab, dan orang-orang awam, untuk memancangkan pikiran mereka pada wawasan dunia alkitabiah dan untuk dengan lugas mempertahankannya demi mereka yang lapar akan kebenaran.

Tetapi apakah kita siap menerima tantangan seperti itu? George Barna baru saja menyelesaikan perjalanannya mengunjungi sejumlah gereja di Amerika dan ia kembali dengan membawa sebuah laporan yang memprihatinkan terkait dengan fakta betapa mayoritas hamba Tuhan dan kaum awam aktivis gereja – sekitar 90 persen, menurut sebuah survei – tidak memiliki kesadaran wawasan dunia. Bagaimana kita dapat mempertahankan argumentasi kita saat harus berhadapan dengan filsafat lawan, jika kita bahkan tidak berakar pada sistem kebenaran kita sendiri?

Ironisnya, seiring dengan munculnya indikasi yang membesarkan hati di dalam budaya, muncul pula indikasi terjadinya sebuah proses pembodohan di dalam gereja, dari pemberitaan yang digerakkan oleh Firman bergeser kepada pemberitaan yang digerakkan oleh impresi – dan emosi – (perhatikan berapa banyak stasiun radio Kristen yang belakangan ini telah mengubah program pemberitaan dan pengajaran menjadi program musik secara keseluruhan).

Akan menjadi ironi terbesar – sekaligus tragedi paling mengerikan – jika kita sampai mendapati diri kita tergelincir ke dalam posmodernisme, justru pada saat kebudayaan yang luas telah meyakininya sebagai jalan buntu. (“The Postmodern Crackup,” dalam Christianity Today, Desember, 2003, Vol. 47, No. 12, hlm. 72)

Doktrin pemilihan merupakan sarana yang sangat menakjubkan untuk membangunkan orang-orang yang telah diombang-ambingkan oleh arus kepercayaan turun-temurun yang tidak melibatkan pikiran. Dengan serta-merta mereka akan dikejutkan oleh natur Alkitab yang secara radikal berorientasikan pada Allah, dan kecenderungan hati mereka sendiri yang mengerikan yang berorientasikan pada manusia. Mereka berada dalam misi untuk membangun cara berpikir yang alkitabiah mengenai Allah dan dunia, yang sanggup menghindarkan mereka dari tragedi seperti yang telah diperingatkan oleh Colson: yaitu bahwa, pada akhirnya dunia menemukan bahwa kebenaran itu memang penting, justru pada saat gereja dengan dalih relevansi kultural telah menyimpulkan bahwa doktrin itu tidaklah penting. Doktrin pemilihan itu baik bagi kita dan bagi anak cucu kita dalam hal-hal yang bahkan belum dapat kita bayangkan.

3. Pemikiran pastoral yang ketiga mengenai doktrin pemilihan adalah bahwa doktrin tersebut merupakan salah satu cara terbaik untuk menguji apakah kita telah bertukar peran dengan Allah.

Ini merupakan masalah klise, khususnya dalam dunia modern yang mengasumsikan otonomi manusia dan mempertanyakan segala bentuk otoritas serta merampas kursi penghakiman untuk memutuskan eksistensi Allah.

Paulus membahas masalah ini dengan sangat intens dalam Roma 9:6-23. Saat membahasnya, ia mempertimbangkan baik keberatan yang kuno maupun modern, “Jika demikian, apa lagi yang masih disalahkan-Nya [Allah]? Sebab siapa yang menentang kehendak-Nya?” Jawabannya terhadap hal itu adalah, “Siapakah kamu, hai manusia, maka kamu membantah Allah? Dapatkah yang dibentuk berkata kepada yang membentuknya: ‘Mengapakah engkau membentuk aku demikian?’” (Roma 9:19-20). Dengan kata lain, tidak sepantasnyalah Anda bertukar peran dengan Allah. Ia adalah Sang Penjunan. Hanya ada beberapa doktrin yang melakukan pengujian dengan lebih jelas apakah kita yang sedang menghakimi Allah ataukah Allah yang sedang menghakimi kita.

Ketika Kitab Ayub selesai ditulis dan semua pembelaan Ayub telah dikemukakan, dan semua nasihat Elifas, Bildad, dan Zofar yang menyesatkan telah menguap pergi, maka kesimpulan dari masalah itu pun menjadi berbunyi demikian: “Maka jawab Ayub kepada TUHAN: ‘Aku tahu, bahwa Engkau sanggup melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.... Tanpa pengertian aku telah bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.’ Allah menjawab: ‘Dengarlah, maka Akulah yang akan berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.’” Dengan kata lain, Ambillah tempatmu yang semestinya, Ayub, dan dengarkan Aku. Belajarlah dari Aku; jangan mengajar Aku. Percayalah kepada-Ku; jangan menuduh Aku. Kepada siapa akhirnya Ayub berkata, “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42:1-6). Doktrin pemilihan menempatkan kita dalam sejenis pengujian seperti yang dialami sebagian kecil orang, demi mendapati apakah kita sedang berada di tempat Ayub yang mempersalahkan Allah, atau Ayub yang menyesali diri, bertobat, dan percaya.

Akan sulit bagi seekor ikan untuk dapat memahami apa yang dimaksud dengan basah itu. Basah merupakan sebentuk kewajaran bagi seekor ikan. Ikan tersebut bahkan tidak pernah mempertanyakannya. Demikian pula, akan sulit bagi seorang manusia modern – manusia yang hidup dalam kurun waktu dua ratus tahun terakhir ini – untuk memahami betapa ia telah bersikap arogan terhadap Allah. Bersikap arogan terhadap Allah merupakan sebentuk kewajaran dalam dunia modern. Itu sama wajarnya dengan berenang di tengah laut dan bernafas di tengah udara. Itu telah menyatu dengan pikiran kita. Kita bahkan tidak menyadari bahwa pikiran itu ada di sana. Kita tidak dapat melihatnya, karena kita melihat melaluinya untuk dapat melihat segala hal yang lain.

Berikut ini adalah cara C. S. Lewis mengatakannya:

Manusia zaman dahulu menghampiri hadirat Allah ... bagaikan seorang terdakwa yang menghampiri meja sang hakim. Bagi manusia modern peran tersebut saling bertukar. Dialah sang hakim dan Allahlah sang terdakwa. Ia adalah hakim yang sangat murah hati: sekiranya Allah memiliki argumentasi yang masuk akal untuk menjadi allah yang mengizinkan perang, kemiskinan, dan penyakit, maka ia akan siap untuk mendengarkannya. Sangat mungkin, sidang pengadilan tersebut bahkan akan diakhiri dengan pemberian vonis bebas bagi Allah. Tetapi yang penting adalah bahwa manusia ada di Kursi Hakim, sementara Allah ada di Kursi Terdakwa. “God in the Dock” (“Allah di Kursi Terdakwa”), dalam Lesley Walmsley, ed., C.S. Lewis: Essay Collection and Other Short Pieces [London: HarperCollins Publishers, 2000], hlm. 36)

Sebenarnya itulah makna menjadi modern: perasaan yang tidak jelas – asumsi yang kita sendiri tidak sadar bahwa kita telah memilikinya – bahwa pantas bagi kita untuk mempertanyakan dan bahkan menghakimi Allah. Doktrin pemilihan merupakan satu sarana yang sangat efektif untuk menguji apakah Anda telah terbebas keluar dari kubangan arogansi yang menjadi ciri khas dunia modern, atau justru masih basah kuyup hingga ke tulang sumsum. Sungguh baik bagi kita untuk diuji dalam ujian kedaulatan Allah, sehingga kita dapat bersama-sama dengan Ayub mengatakan: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42:5-6).

4. Pemikiran pastoral yang keempat mengenai doktrin pemilihan adalah demikian: Orang yang rendah hati berpegang pada – bukan pembahasan tentang, bahkan bukan pula keyakinan intelektual pada, sebaliknya, orang yang rendah hati berpegang pada – kebenaran tak ternilai tentang pemilihan dan anugerah yang berdaulat, yang melahirkan konsekuensi yang radikal dan penuh kasih –mengerjakan pelayanan dan program misi.

Satu contoh (dan masih banyak lagi dari William Carey, Adoniram Judson, David Livingstone, John Patton, George Mueller, Charles Spurgeon dan Jonathan Edwards dan lan-lain): Kristin Carlson telah berada di Zambia selama hampir satu tahun untuk bekerja bersama dengan anak-anak jalanan di bawah lembaga Action International (Karena mengenal mereka; saya dapat menyebutkan betapa sang direktur, Doug Nichols, sebagai salah satu dari antara sejumlah orang Kristen radikal yang pergi ke Rwanda sekalipun menderita penyakit kanker usus besar, karena ia dengan rendah hati berpegang pada kebenaran tentang pemilihan). Inilah isi e-mail yang dikirim oleh Kristin kepada kami pada suatu pagi Thanksgiving:

Pertama-tama, saya bersyukur untuk anugerah Allah yang tak terukur, yang telah memilih saya. Saya tidak memiliki jasa apa pun sehingga layak dipilih, dan saya terus-menerus merasa kagum akan kebaikan Bapa kepada saya. Alasan saya merasa bersyukur karena telah dipilih adalah karena saya tahu untuk apa saya dipilih. Dipilih untuk memberitakan kesempurnaan Allah; dipilih untuk beroleh kepenuhan kekal di dalam Allah melalui Yesus; dipilih untuk hidup di dalam terang dan bukan di dalam kegelapan; dipilih untuk mengecap dan menyaksikan bahwasanya Dia itu baik adanya.

Jangan salah mengerti. Beberapa di antara Anda tidak memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Kristin, karena Anda telah diajar bahwa doktrin pemilihan itu tidak benar atau tidak bermanfaat. Anda selalu berada di luar dan melongok ke dalam dengan penuh curiga atau sambil mengkritik. Melalui e-mail ini, Anda sekarang sedang mendengar sebuah kisah yang disuarakan dari dalam – dari seseorang yang secara persis memahami seperti apa rasanya berpegang pada dan dipegangi oleh doktrin pemilihan tanpa syarat itu. Dampaknya bukanlah seperti apa yang mungkin telah diajarkan kepada Anda. Mari kita mendengarkan dampaknya. Kristin pun melanjutkan:

Saya sungguh bersyukur bahwa Allah telah memilih Vasco, seorang anak jalanan yang keras, cuek, pemberontak, dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib. Dan buah yang sudah saya lihat dalam hidup Vasco adalah kesaksian betapa ia tinggal di dalam Yesus, sang Pokok Anggur.

Saya bersyukur untuk kebaikan Allah yang tak habis-habisnya sepanjang tahun yang lalu .... Betapa menakjubkan untuk boleh berbagian di dalam pekerjaan ini – bersahabat dengan anak-anak jalanan dan memberitakan satu-satunya pengharapan kekal kepada mereka. Dan sebagai catatan tambahan di sini, saya bersyukur karena Allah telah menganugerahkan kepada saya sebuah hati yang mengasihi anak-anak ini. Secara objektif, saya memahami bahwa bukanlah hal yang “normal” untuk kita bisa SUKA menapaki gunungan sampah dan duduk di atas sebuah kursi yang unik (sebuah benda logam kecil dengan selembar karton di atasnya sebagai alas duduk) bersama anak-anak yang kotor dan bau, tetapi inilah faktanya, saya menyukainya.

Berpegang pada dan dipegangi oleh doktrin mengenai anugerah yang berdaulat – yang diawali dengan pemilihan tanpa syarat – pada mulanya melahirkan sejenis kasih yang radikal, yang berani mengambil risiko untuk berkorban; sebelum kemudian merendahkan diri kita untuk bersukacita di dalam kebenaran yang menyingkapkan bahwa bukannya kita yang telah melahirkan kemuliaan ini di dalam diri kita, melainkan Allah sendiri. Maka kita pun mengembalikan kemuliaan itu kepada-Nya.

Jika Anda bertanya: Apakah ini seturut dengan pola pikir Alkitab? Apakah Alkitab memang mengajarkan bahwa kebenaran tentang pemilihan itu dimaksudkan oleh Allah untuk melahirkan dampak seperti ini? maka jawabannya adalah ya. Pertama, coba perhatikan kata-kata dalam Kolose 3:12-13, “Karena itu, sebagai orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan, kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan kesabaran. Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian.” Ada keterkaitannya. Menurut pemikiran Rasul Paulus, hal itu lugas dan jelas. Pemahaman bahwa Anda dipilih karena anugerah, bahwa Anda dikhususkan bagi Allah, bahwa Anda dikasihi, selayaknyalah menjadikan Anda orang yang paling lembut hati di dunia, siap menanggung aniaya dan siap mengampuni. Mengasihi orang yang tidak layak dikasihi – di Zambia dan di mana saja.

Inilah indikasi lain bahwa doktrin pemilihan ini berfungsi. Dalam Roma 8:33 Rasul Paulus berkata, “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah? Allah, yang membenarkan mereka?” Jawabannya adalah: Tidak seorang pun dapat menggugat Anda, jika Anda dipilih oleh Allah. Ia ada di pihak Anda selamanya. Tampak jelas bahwa Rasul Paulus mengatakan hal itu karena ia mengharapkan hal itu memiliki dampak praktis terhadap diri kita. Ia mengharapkan kita boleh menikmati jaminan dan sukacita, memiliki keberanian dan tidak merasa takut lagi. Ketika hari ini Anda hendak membuat sebuah keputusan yang terlihat benar dan penuh kasih, namun sekaligus berisiko, apakah Anda merasakan dampak dari pertanyaan: “Siapakah yang akan menggugat orang-orang pilihan Allah?” Apakah Anda merasakan kuasa Injil yang melahirkan jaminan itu di dalam kata “pilihan”?

Itu khususnya, bukanlah doktrin untuk diperdebatkan, melainkan untuk dinikmati. Itu bukan dirancang untuk menimbulkan perselisihan; melainkan demi memenuhi misi tertentu. Itu bukan dimaksudkan untuk memecah belah (meskipun itu dapat memecah belah); itu dimaksudkan untuk menjadikan orang berbelas kasih, ramah, rendah hati, lemah lembut, dan suka mengampuni.

5. Saya ingin menutup bagian ini dengan satu pemikiran pastoral terakhir. Jangan pernah mencoba merenungkan doktrin pemilihan terlepas dari keberadaan Yesus Kristus.

Efesus 1:4 mengatakan, “Di dalam Dia [Kristus] Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan.” Dengan kata lain, ketika di dalam kekekalan, Allah telah merencanakan untuk menarik kita keluar dari perbudakan dosa itu, Ia pun telah berencana menjadikan Kristus sebagai jalan untuk mewujudkan rencana-Nya itu. Sebelum dunia dijadikan, Allah telah merencanakan untuk menyelamatkan kita melalui kematian dan kebangkitan Kristus.

Oleh karena itu, apa yang dilakukan Allah untuk menyelamatkan kita dan memanggil kita datang kepada diri-Nya, bukanlah dengan jalan memberi tahu kita sebelum dunia dijadikan bahwa kita adalah umat pilihan-Nya. Allah tidak pernah menyingkapkan hal itu, kecuali melalui relasi dengan Yesus Kristus, sehingga dengan demikian, Kristus menjadi pusat bagi seluruh rencana pemilihan Allah terhadap diri kita. Ketimbang mengatakan kepada kita bahwa kita adalah umat pilihan-Nya, Allah memilih untuk mengutus Putra-Nya dan berfirman, “Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal” (Yohanes 3:36). “Barangsiapa percaya kepada Anak Allah, ia mempunyai kesaksian itu di dalam dirinya” (1 Yohanes 5:10). Rasul Yohanes mengetahui bahwa ia adalah orang pilihan Allah.

Maka di dalam nama Kristus, saya berkata kepada Anda: Datanglah, terimalah Dia sebagai Juru Selamat Anda dan Tuhan Anda serta Harta kehidupan Anda. Ia tidak pernah membuang orang yang datang kepada-Nya di dalam iman. Ia mengampuni dosa. Ia membungkusnya dengan jubah kebenaran. Ia mengaruniakan Roh Kudus kepadanya. Ia akan memelihara Anda. “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku dan Aku memberikan hidup yang kekal kepada mereka dan mereka pasti tidak akan binasa sampai selama-lamanya dan seorang pun tidak akan merebut mereka dari tangan-Ku” (Yohanes 10:27-28). Dengarkanlah suara Sang Gembala yang baik dan datanglah kepada-Nya.