Hari Kebangkitan 2.0

Article by

Guest Contributor

Hari Minggu kita merayakan Hari Kebangkitan yang menggembirakan dengan diiringi musik yang penuh nada kemenangan, kemuliaan dan perayaan kepercayaan yang meriah bahwa "Ia sungguh-sungguh sudah bangkit!"

Tetapi ketika kita berpikir mengenai hari kebangkitan pertama, kita akan menyadari bahwa pengalaman kita adalah jauh berbeda dari apa yang dialami oleh pengikut-pengikut pertama Yesus. Catatan Lukas tentang didapatinya kubur yang kosong segera diikuti, bukan oleh perayaan yang menyenangkan, melainkan oleh percakapan yang penuh kesedihan:

Pada hari itu juga dua orang dari murid-murid Yesus pergi ke sebuah kampung bernama Emaus, yang terletak kira-kira tujuh mil jauhnya dari Yerusalem, dan mereka bercakap-cakap tentang segala sesuatu yang telah terjadi.(Lukas 24:13-14)

Setelah menyaksikan apa yang terjadi pada Yesus di Yerusalem mereka bingung dan sedih dan kecewa karena Orang yang mereka pikir datang untuk menyelamatkan mereka telah dipermalukan dan disalibkan, dan dalam perkiraan mereka, telah dikalahkan oleh kekuatan politik dan agama. "Padahal kami dahulu mengharapkan bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel," mereka berkata kepada seorang asing yang berbicara dengan mereka (Lukas 24:21) dan tidak menyadari bahwa orang asing itu adalah Yesus. Mereka telah mendengar Yesus mengajar dan melihat mujizat yang dilakukan-Nya dan mereka telah percaya kepada-Nya. Dan sekarang, mereka tidak tahu apa yang harus mereka pikir. Orang yang mereka pikir akan menyelamatkan mereka tampaknya tidak dapat menyelamatkan diri-Nya sendiri.

Lambat untuk Belajar

Ketika kita membaca tentang bagaimana Yesus menanggapi murid-murid-Nya, kita mungkin melihat adanya sedikit perasaan frustrasi, yaitu semacam perasaan frustrasi yang ada pada orang tua terhadap anaknya yang telah berkali-kali dinasihati mengenai suatu hal tetapi si anak tidak pernah benar-benar mendengarkan:

Lalu Ia berkata kepada mereka: "Hai kamu orang bodoh, betapa lambannya hatimu, sehingga kamu tidak percaya segala sesuatu, yang telah dikatakan para nabi! Bukankah Mesias harus menderita semuanya itu untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya?" (Lukas 24:25-26)

Kepada para pengikut yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun sebagai anak yang mempelajari Taurat langsung di bawah Sang Rabi dan bertahun-tahun mendengarkan gulungan kitab suci dibuka dan dibacakan di tempat ibadah, Yesus berkata bahwa jika mereka sungguh-sungguh mendengarkan apa yang ditulis para nabi, dan jika mereka tidak hanya mendengarkan tetapi memeriksanya, memprosesnya dan benar-benar mempercayainya, mereka akan mengerti bahwa Orang yang Tuhan janjikan akan diutus-Nya akan menyelamatkan mereka dari penderitaan, karena kebenaran terjalin dengan keseluruhan Perjanjian Lama.

Identitas Yesus Dikonfirmasi

Yesus menyatakan bahwa mereka seharusnya mengerti bahwa penyaliban-Nya bukan meniadakan identitas-Nya sebagai Mesias, tetapi justru mengkonfirmasikan (menegaskan) identitas-Nya itu, karena kematian Mesias telah diperkirakan dan telah digambarkan serta dibuat polanya di sepanjang Perjanjian Lama. Sesungguhnya, setiap bagian dari Perjanjian Lama mengantisipasi penderitaan dan kemuliaan Kristus dengan caranya masing-masing.

Janji yang paling pertama di dalam Perjanjian Lama tentang "keturunan" atau anak-anak Hawa menunjuk langsung pada penderitaan-Nya. Tuhan berkata bahwa Iblis akan "membuat lutut-Nya menjadi memar". Jadi sejak awal sekali Juru Selamat telah dijanjikan di dalam Perjanjian Lama; jelas dikatakan bahwa Dia yang dijanjikan akan menderita, tetapi akan bangkit dari penderitaan itu sebagai yang menang, dan menamatkan yang jahat serta mengakhiri penderitaan.

Barangkali janji ini adalah ketika Yesus mulai dengan, "Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi" (Lukas 24:27). Mungkin Ia melanjutkan dengan Kejadian 22 yang mencatat tentang Abraham yang bersiap-siap untuk mempersembahkan Ishak, untuk membantu mereka melihat bagaimana hal ini menggambarkan pengorbanan Bapa yang mengorbankan anak-Nya yang terkasih. Mungkin Ia menyinggung tentang Yusuf lalu menguraikan penderitaannya di dalam perbudakan dan penjara dan kemudian kemuliaannya yang penuh dengan kekuasaan, lalu menunjukkan kepada mereka bagaimana Yusuf yang menjadi penyelamat bagi seluruh dunia melalui penderitaan dan penghinaan menunjukkan pola yang sama tentang bagaimana Dia akan menjadi Juru Selamat dunia. Mungkin Yesus bekerja dengan cara-Nya sendiri melalui Keluaran dengan menunjukkan kematian domba Paskah, melalui Imamat dengan cara-cara mempersembahkan persembahan korban, melalui tulisan Daud yang menggambarkan penderitaan-Nya dan kemuliaan-Nya dengan bahasa yang luas yang melampaui pengalamannya sendiri sampai dengan anak sulungnya.

Suatu urutan yang jelas

Ini semua ada untuk mereka lihat. Penderitaan mendahului kemuliaan. Penghinaan datang sebelum peninggian. Penderitaan di salib dan di dalam kubur memberi jalan kepada kemuliaan kebangkitan! Dan bagi para pengikut itu, kebodohan memberi jalan untuk percaya. Kebingungan dihancurkan menjadi pengertian. Hati yang hancur menjadi hati yang berkobar-kobar. Penderitaan menjadi sukacita.

Sekarang ini Hari Kebangkitan kita jauh berbeda dari apa yang dialami para pengikut Yesus di jalan Emaus maupun mereka yang bersembunyi di balik pintu yang terkunci di Yerusalem. Kita tidak hanya mempunyai seluruh Perjanjian Lama yang mempersiapkan kita untuk mengerti penderitaan dan kemuliaan Yesus, tetapi juga seluruh Perjanjian Baru yang memperluas pemahaman kita. Seluruh isi Alkitab mengundang kita untuk berbagi dalam penderitaan dan juga berbagi kemuliaan Juru Selamat kita yang menanamkan kepercayaan yang kuat di dalam kita bahwa penderitaan kita suatu hari kelak akan membuka jalan bagi kemuliaan yang luar biasa.

attends Cornerstone Presbyterian Church, in Franklin, Tennessee, and teaches at conferences around the country and internationally, including her Biblical Theology Workshops for Women. She and her husband host Respite Retreats for couples who have faced the death of a child and are co-hosts of the GriefShare video series.